Kamis, 08 Mei 2014

Makalah



HADITS DITINJAU DARI KUANTITAS
PERAWI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ulumul Hadits
Dosen pengampu :M. Dhofir, M.Ag


 


   










Disusun Oleh :
Muhamad Sholeh            (1310120042)
Abdul Rouf                     (1310120065)
Maflahatul Husniyyah   (1310120056)

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KUDUS
2014


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penelitian suatu hadits itu salah satunya dapat ditinjau dari kualitas dan kuantitas rawi. Hal ini dilakukan oleh ulama dalam upaya menelusuri secara akurat sanad yang ada pada setiap hadits yang dikumpulkannya. Sehingga dengan penelitian kedua aspek inilah, upaya pembuktian shahih tidaknya suatu hadits lebih dapat dipertimbangkan.
Hadits merupakan semua hal, baik ucapan, perbuatan, pernyataan dan hal yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW. Dalam agama Islam kedudukan hadits menjadi sumber ajaran berada di bawah kitab suci Al-Qur’an. Akan tetapi tidak sembarang hadits yang dijadikan sebagai dasar hukum. Perlu diperhatikan dan dikaji lebih lanjut mengenai kriteria hadits untuk dijadikan sebagai hujjah, baik segi matan maupun sanadnya. Oleh sebab itu muncullah disiplin ilmu yang membahas mengenai hadits, ulumul hadits dan musthalah hadits.
Pembagian hadits dilihat dari sudut bilangan perawi dapat digolongkankan menjadi dua bagian yang besar yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir terbagi menjadi mutawatir lafzi, mutawatir manawi dan mutawatir amali. Bagian-bagian ini menjadi nas hukum dalam bidang akidah dan syariah. Hadits ahad terbagi pula menjadi tiga bagian yaitu masyhur, aziz dan gharib.

B.  RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian hadits mutawatir dan hadits ahad?
2.      Apa saja macam-macam hadits mutawatir dan hadits ahad?
3.      Apa hukum hadits mutawatir dan hadits ahad?


BAB II
PEMBAHASAN

Ø  HADITS DILIHAT DARI KUANTITAS PERAWINYA
Dalam sebagian orang menganggap bahwa pembagian hadist itu membingungkan .tetapi semua itu ternyata hilang dengan adanya pembagian hadist yang ternyata ditinjau dalam berbagai aspek.
Misalnya hadist di tinjau dari kwantitas jumlah perawi dalam sanad terbagi menjadi dua macam :
1.      Hadist mutawatir
2.      Hadist ahad
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadist dari segi kuantitas jumlah perawi para penulis hadist pada umumnya menggunakan redaksi yang berbeda. Sebagian mereka melihat pembagian hadist dilihat dari segi penyampaian hadist dan sebagian lagi memilh dari dari segi kuantitas atau jumlah perawinya. Sebagian ulama membaginya menjadi  dua macam dan diantara mereka yakni ulama ushul dan umumnya ulama hadist membaginya menjadi tiga macam. Bagi mereka yang membagi menjadi dua macam ,yakni :
1.      Hadist mutawatir
2.      Hadist Ahad
Sedang yang membaginya menjadi tiga macam adalah:
1.      Hadist mutawatir
2.      Hadist masyhur
3.      Hadist ahad
Ditinjau dari segi kuantitas perawinya, hadits dibedakan menjadi dua macam. Hadits mutawatir dan hadits ahad. Kedua kategori hadits ini digolongkan berdasar jumlah perawinya.


A.    Hadits Mutawatir
1.      Pengertian Hadits Mutawatir
Arti mutawatir dalam bahasa berarti al-mutatabi berarati, yang datang kemudian, beriring iringan atau beruntun. Secara istilah ada beberapa redaksi tentang mutawatir , yaitu sebagai berikut :
Mahmud Thahan :
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mustahil mereka berbuat dusta.
M. M. Azami :
Hadits mutawatir adalah sejumlah kadar periwayat yang mustahil sepakat berbuat dusta.
Fathurrahman :
Haditas mutawatir adalah suatu hadits tanggapan dari panca indra yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan berserikat untuk berdusta. 
Dari beberapa pengertian tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.[1]

2.      Syarat-syarat Hadits Mutawatir.
a.     Bilangan atau jumlah periwayatnya banyak.
Dalam hal ini para ulama’ berselisih tentang jumlahnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa paling sedikit adalah 4 orang periwayat berdasarkan pemahaman atas Q.S. al-nur (24):13.
“ Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi. Maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang berdusta”
Ada yang berpendapat  5 orang (mengkiaskan pada jumlah rosul ulul azmi), 10 orang (karena ia minimal jamak katsrah ) 40 orang, 70 orang, (jumlah sahabat musa) bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih  (jumlah tentara Tholut dan ahli perang badar). Namun, pendapat yang terlebih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.[2]
b.      Semuanya bersandar pada panca indra.
Persyaratan ini menjadikan hadits mutawatir mencapai derajat yang tiggi karena transmisinya dilakukan dengan metode al-sama’.Dalam pandangan ulama’ metode penyampaian hadits tersebut merupakan metode yang terbaik dalam periwayatan hadits.
Metode menggunakan selain panca indera tidak dibenarkan, semisal pemikiran manusia mengenai sesuatu. Contoh angka satu merupakan hasil pengurangan dua dikurang satu, dan lain sebagainya.
c.          Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thobaqoh berikutnya.
Oleh karena itu, kalau suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang tabi’in dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabi’in, bukan hadits mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqoh pertama, kedua dan ketiga.
d.        Mustahil bersepakat bohong.
Misalnya para perowi dalam sanad itu datang dari berbagai negara yang berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat yang berbeda pula. Sejumlah banyak perowi ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan berbohong secara uruf (tradisi).[3]

3.        Pembagian Hadits Mutawatir
Para ahli ushul membagi hadits mutawatir kepada tiga bagian. Yakni mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, mutawatir amali.
a.        Mutawatir lafdzi
Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang mutawatir lafadz dan maknanya.[4]
Contoh hadits nabi yang berbunyi:
من كذب علي متعمد فليتبوا مقعده من النار
     “ Barang siapa berdusta kepadaku secara sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka”
Menurut Abu Bakar Al Bazar yang dikutip oleh Fathurrahman, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat dan sebagian para ulama’ mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan susunan redaksi dan makna yang sama.
b.        Mutawait Ma’nawi
Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang mutawatir maknaya bukan lafadznya.[5]
Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa.
“ Nabi Muhammad SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a beliau selain dalam do’a shalat istisqa’ dan beliau mengangkat tangannya hingga nampak putih-putih kedua ketiaknya”.
Hadits ini berjumlah sekitar seratus hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yaitu keadaan Nabi Muhammad mengangkat tangan saat berdo’a.
c.         Mutawatir amali
Hadits mutawatir amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam bahwa Nabi SAW mengerjakannya, menyuruhnya atau selain dari itu.[6]
Misalnya berita-berita yang menjelaskan tentang baik waktu dan rokaatnya, sholat jenazah, zakat, haji, dan lain-lain. Semua itu terbuka dan disaksikan oleh banyak sahabat dan kemudian diriwayatkan secara terbuka oleh sejumlah besar kaum muslimin dari masa ke masa.

4.    Hukum Hadits Mutawatir
Para perawi hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan maupun kedhobitannya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana telah ditetapkan diatas, menjadikan mereka tidak mungkin sepakat melakukan dusta. Dengan demikian hadits mutawatir memberikan faedah diantaranya:
1.      Berfaedah keyakinan.
Bahwa hadits mutawatir memberi faedah harus diyakini apa adanya. Ini disebut sebagai ilmu dharuri yang tidak lagi dapat ditawar kebenarannya. Orang harus meyakini bahwa apa yang diriwayatkan para perawi memang pernah disampaikan atau dilakukan oleh Rosulullah melihat kuantitas perawi yang tidak mungkin bersepakat berdusta.
2.      Pasti shahih.
Maka tidak dibutuhkan pembahasan mengenai hal ihwal periwayatannya.
3.      Wajib meyakini keshahihannya seperti meyakini Al-Qur’an.
Bahwa mengingkari hadits mutawatir dapat menyebabkan kekufuran.
4.      Wajib mengamalkannya.
Maksudnya, bila disana Nabi menyebut perintah, maka harus dilaksanakan, sebaliknya bila disana Nabi melarang, maka harus disinkiri.

B.   Hadits Ahad
1.  Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka khobar ahad atau khobar wahid berarti suatu berita yang disampaikan oleh orang satu.
Adapun yang dimaksud hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama’, antara lain:
Mahmud Thahan :
Hadits Ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
Ahmad Husnan :
Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tidak mencapai syarat-syarat dalam periwayatatn hadits mutawatir.
Muhammad Abu Zarhah:
Hadits ahad yaitu tiap-tiap khobar yang yang diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih yang diterima oleh Rosulullah dan tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir.[7]
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hadis ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tidak mencapai derajat hadits mutawatir.

2. Pembagian Hadits Ahad
Para muhadditsin membagi atau memberi nama-nama tertentu bagi hadits ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqot, yaitu hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits ghorib.
a.      Hadits Masyhur
Dalam bahasa masyhur berarti tenar, terkenal,dan menampakkan.dalam istilah hadits masyhur terbagi menjadi dua macam:
1.      Mashhur Istilahi adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih  pada setiap tingkatan pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak sampai pada kriteria mutawatir.[8] Contoh hadis:

(رواه بخارى )  فليغتسل الجمعة  احدكم جاء اذا
 “Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan sholat jum’at, hendaklah ia mandi”(HR. Bukhori)
2.    Mayhur Ghoiru istilahi adalah hadits yang populer atau terkenal dikalangan golongan atau kelompok tertentu sekalipun jumlah periwayat tidak mencapai tiga orang atau lebih.[9]
Contoh :
ü Masyhur dikalangan ahli hadits: “orang Islam (yang sempurna) itu adalah orang-orang Islam lainnya selamat dari lisan dan tangannya.”
ü Masyhur dikalangan ahli fiqih: Rasulullah SAW melarang jual beli yang didalamya terdapat tipu daya.”
b.     Hadits Aziz
Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah hadits diriwayatkan oleh dua orang perowi pada pada seluruh tingkatan sanad. Sebagai contoh ialah hadits:
لا يؤمن احدكم حتى اكون احب اليه من والده وولده والناس اجمعين (رواه بخارى ومسلم)
“Tidaklah beriman seseorang diantara kamu, hingga aku lebih dicintai ddari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia”.
Hadits ini diriwayatkan oleh dua orang sahabat yaitu Anas dan Abu Hurairah, dari Anas diriwayatkan  oleh dua orang yaitu Qatadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Dari Qatadah diriwayatkan oleh dua orang pula yaitu Syu’bah dan Sa’id. Dan dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh dua orang pula yaitu Isma’il bin Ulaiyah dan Abdul Warits. Dan seterusnya sampai kepada al Bukhari dan Muslim.

c.       Hadits Ghorib
Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi dimana saja tingkatan dari beberapa tingkatan sanad.[10] Hadits Ghorib terbagi menjadi dua: yaitu ghorib mutlaq (fard) dan ghorib nisbi.
1.      Ghorib mutlaq
Ghorib mutlaq adalah hadits yang ghororobahnya terletak pada pokok sanad. Pokok sanad yaitu seorang sahabat. Contoh hadits:
انماالاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى......
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khottob ra.
2.      Ghorib nisbi
Ghorib nisbi adalah hadits yang ghorobahnya berada di tengah sanad.
Contoh hadits:
عن انس رضى الله عنه ان النبي صلى الله عليه وسلم دخل مكة وعلى رأسه المغفار
(رواه بخارى ومسلم)
Dari Anas ra bahwa nabi SAW masuk kekota makah diatas kepalanya memakai igal. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas dikalangan tabiin hanya Malik yang meriwayatkannya. Boleh jadi pada awal dan akhir sanad lebih dari satu periwayatnya.

3.      Hukum Hadits Ahad
Hukum hadits ahad adakalanya shohih, hasan, dan dhoif tergantung persyaratan yang terpenuhi, apkah memenuhi kriteria hadits shohih apa tidak. Jika memenuhi segala persyaratannya berarti berkualitas shohih dan jika tidak memenuhi sebagian atau seluruh persyaratan maka tergolong hadits hasan atau dhoif.



BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Hadits ditinjau dari kuantitas perowi dibagi menjadi dua yaitu:
1.    Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Hadits mutawatir  terbagi menjadi tiga yaitu:
a.       Mutawatir lafdzi.
b.      Mutawatir ma’nawi.
c.       Mutawatir amali.
2.    Hadits Ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Hadits ahad dibagi menjadi tiga yaitu:
a.       Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada batasan mutawatir. Hadits masyhur dibagi menjadi dua yaitu:
ü  Masyhur Istilahi
ü  Masyhur Ghoiru Istilahi
b.      Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perowi ditiap tiangkatan sanad.
c.       Hadits Ghorib adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja. Hadist ghorib dibagi menjadi dua yaitu:
ü  Ghorib Mutlak
ü  Ghorib Nisbi











B.     DAFTAR PUSTAKA
Dr.H Abdul Majid Khon ,Mag,ulumul hadist  ,AMZAH,(Jakarta :2011)
Drs. Mundzir Suparta, M.A, Ilmu Hadits, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta :2003)
Drs. Octoberinsyah, M.Ag, Imam Muhsin, M.Ag dan M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag, Al Hadits, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta : 2005).
Prof. Dr. Muh. Zuhri, Hadits Nabi Telaah historis dan Metodologis, PT. Tiara Wacana, (Yogyakarta : 2003).
Mudasir, Ilmu Hadits, Pustaka Setia, hlm:113
Fathur Rahman.1974. Ikhtisar Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung.hlm.79
Syekh Abdul Majid al-Ghouri. Al-Muyassar fi Ulum al-Hadits. Hlm.33, 34, 35, 209. Daar Ibn Katsir, Damaskus, Beirut.
Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhatul Mughits fi ilmi musthalah al-hadits, Andalas Surabaya.
Dr. H. Umar, Lc, M.Ag. Ilmu Hadits. NORA MEDIA ENTERPRISE. Kudus. 2011.





[1] Ulumul hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 131
[2] Ulumul hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 131
[3] Ulumul hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 132
[4] Ilmu Hadits, Drs. Mundzir Suparta, M.A hal 101
[5] Ulumul hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 136
[6] Ulumul hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 137
[7] Ilmu Hadits, Drs. Mundzir Suparta, M.A hal 109
[8] Ulumul hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 139
[9] Ulumul hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 140

[10] Ulumul hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 143

Tidak ada komentar:

Posting Komentar