HADITS DITINJAU DARI KUANTITAS
PERAWI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ulumul Hadits
Dosen
pengampu :M. Dhofir, M.Ag
Disusun
Oleh :
Muhamad Sholeh (1310120042)
Abdul Rouf (1310120065)
Maflahatul
Husniyyah (1310120056)
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KUDUS
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penelitian suatu hadits itu salah satunya dapat ditinjau dari kualitas dan kuantitas rawi. Hal ini dilakukan oleh ulama dalam upaya menelusuri secara
akurat sanad yang ada pada setiap hadits yang dikumpulkannya. Sehingga dengan penelitian kedua aspek inilah,
upaya pembuktian shahih tidaknya suatu hadits lebih dapat dipertimbangkan.
Hadits
merupakan semua hal, baik ucapan, perbuatan, pernyataan dan hal yang
disandarkan kepada nabi Muhammad SAW. Dalam agama Islam kedudukan hadits menjadi sumber ajaran
berada di bawah kitab suci Al-Qur’an. Akan tetapi tidak sembarang hadits yang dijadikan sebagai
dasar hukum. Perlu diperhatikan dan dikaji lebih
lanjut mengenai kriteria hadits untuk dijadikan sebagai hujjah, baik segi matan
maupun sanadnya. Oleh
sebab itu muncullah disiplin ilmu yang membahas mengenai hadits, ulumul hadits
dan musthalah hadits.
Pembagian
hadits dilihat dari sudut bilangan perawi dapat digolongkankan menjadi dua
bagian yang besar yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir terbagi menjadi mutawatir lafzi, mutawatir ma’nawi dan mutawatir
amali. Bagian-bagian ini menjadi nas hukum dalam bidang akidah dan syariah.
Hadits ahad terbagi pula menjadi tiga bagian yaitu masyhur, aziz dan gharib.
B. RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari
latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat penulis rumuskan
adalah sebagai berikut :
1.
Apa
pengertian hadits mutawatir dan hadits ahad?
2.
Apa saja
macam-macam hadits mutawatir dan hadits ahad?
3.
Apa hukum
hadits mutawatir dan hadits ahad?
BAB II
PEMBAHASAN
Ø HADITS DILIHAT DARI KUANTITAS PERAWINYA
Dalam sebagian orang menganggap bahwa
pembagian hadist itu membingungkan .tetapi semua itu ternyata hilang dengan
adanya pembagian hadist yang ternyata ditinjau dalam berbagai aspek.
Misalnya
hadist di tinjau dari kwantitas jumlah perawi dalam sanad terbagi menjadi dua
macam :
1. Hadist
mutawatir
2. Hadist
ahad
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian
hadist dari segi kuantitas jumlah perawi para penulis hadist pada umumnya menggunakan redaksi yang
berbeda. Sebagian
mereka melihat pembagian hadist dilihat dari segi penyampaian hadist dan
sebagian lagi memilh dari dari segi kuantitas atau jumlah perawinya. Sebagian ulama’ membaginya menjadi dua macam dan diantara mereka yakni ulama’ ushul dan umumnya ulama’ hadist membaginya menjadi tiga macam.
Bagi mereka yang membagi menjadi dua
macam ,yakni :
1. Hadist
mutawatir
2. Hadist
Ahad
Sedang
yang membaginya menjadi tiga macam adalah:
1. Hadist
mutawatir
2. Hadist
masyhur
3. Hadist
ahad
Ditinjau dari segi kuantitas
perawinya, hadits dibedakan menjadi dua macam. Hadits mutawatir dan hadits ahad. Kedua kategori hadits ini
digolongkan berdasar jumlah perawinya.
A. Hadits
Mutawatir
1. Pengertian Hadits Mutawatir
Arti mutawatir dalam bahasa berarti
al-mutatabi berarati, yang datang kemudian, beriring iringan atau beruntun.
Secara istilah ada beberapa redaksi tentang mutawatir , yaitu sebagai berikut :
Mahmud Thahan :
Hadits mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mustahil mereka
berbuat dusta.
M. M. Azami :
Hadits mutawatir adalah sejumlah kadar
periwayat yang mustahil sepakat berbuat dusta.
Fathurrahman :
Haditas mutawatir adalah suatu hadits tanggapan dari panca indra yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil
mereka berkumpul dan berserikat untuk berdusta.
Dari
beberapa pengertian tersebut dapatlah diambil kesimpulan
bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dan
mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.[1]
2. Syarat-syarat Hadits Mutawatir.
a.
Bilangan atau jumlah periwayatnya
banyak.
Dalam hal ini para ulama’ berselisih tentang jumlahnya. Sebagian
ulama berpendapat bahwa paling sedikit adalah 4 orang periwayat berdasarkan
pemahaman atas Q.S. al-nur (24):13.
“ Mengapa
mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita
bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi. Maka mereka
itulah pada sisi Allah orang-orang yang berdusta”
Ada yang
berpendapat 5 orang (mengkiaskan pada
jumlah rosul ulul azmi), 10 orang (karena ia minimal jamak katsrah ) 40 orang, 70 orang, (jumlah sahabat musa) bahkan ada yang
berpendapat 300 orang lebih (jumlah tentara
Tholut dan ahli perang badar). Namun,
pendapat yang terlebih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.[2]
b.
Semuanya bersandar pada panca indra.
Persyaratan ini menjadikan hadits mutawatir mencapai derajat
yang tiggi karena transmisinya dilakukan dengan metode al-sama’.Dalam pandangan ulama’ metode penyampaian hadits tersebut
merupakan metode yang terbaik dalam periwayatan hadits.
Metode menggunakan selain panca indera tidak dibenarkan, semisal
pemikiran manusia mengenai sesuatu. Contoh angka satu merupakan hasil
pengurangan dua dikurang satu, dan lain sebagainya.
c.
Adanya keseimbangan jumlah antara
rawi-rawi dalam thabaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thobaqoh
berikutnya.
Oleh karena itu, kalau suatu hadits diriwayatkan oleh
sepuluh sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang tabi’in dan seterusnya hanya diriwayatkan
oleh dua orang tabi’it-tabi’in, bukan hadits mutawatir. Sebab jumlah
rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqoh pertama, kedua dan ketiga.
d.
Mustahil
bersepakat bohong.
Misalnya para perowi dalam sanad itu datang dari berbagai
negara yang berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat yang berbeda pula.
Sejumlah banyak perowi ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan
berbohong secara uruf (tradisi).[3]
3.
Pembagian
Hadits Mutawatir
Para ahli ushul membagi hadits mutawatir kepada tiga bagian. Yakni mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, mutawatir
amali.
a.
Mutawatir
lafdzi
Contoh hadits
nabi yang berbunyi:
من كذب علي
متعمد فليتبوا مقعده من النار
“
Barang siapa berdusta kepadaku secara sengaja, maka hendaklah ia mengambil
tempat duduknya di neraka”
Menurut Abu Bakar Al Bazar yang dikutip oleh Fathurrahman, hadits
tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat dan sebagian para ulama’ mengatakan
bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan susunan redaksi
dan makna yang sama.
b.
Mutawait Ma’nawi
Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang mutawatir maknaya
bukan lafadznya.[5]
Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan kesunnahan
mengangkat tangan ketika berdoa.
“ Nabi Muhammad SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a beliau
selain dalam do’a shalat istisqa’ dan beliau mengangkat tangannya hingga nampak
putih-putih kedua ketiaknya”.
Hadits
ini berjumlah sekitar seratus hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi
mempunyai titik persamaan, yaitu keadaan Nabi Muhammad mengangkat tangan saat
berdo’a.
c.
Mutawatir amali
Hadits mutawatir amali adalah sesuatu yang diketahui
dengan mudah bahwa ia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat
Islam bahwa Nabi SAW mengerjakannya, menyuruhnya atau selain dari itu.[6]
Misalnya berita-berita yang menjelaskan tentang baik waktu
dan rokaatnya, sholat jenazah, zakat, haji, dan lain-lain. Semua itu terbuka
dan disaksikan oleh banyak sahabat dan kemudian diriwayatkan secara terbuka
oleh sejumlah besar kaum muslimin dari masa ke masa.
4. Hukum Hadits Mutawatir
Para perawi hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan,
baik mengenai keadilan maupun kedhobitannya, sebab dengan adanya persyaratan
yang begitu ketat, sebagaimana telah ditetapkan diatas, menjadikan mereka tidak
mungkin sepakat melakukan dusta. Dengan demikian hadits mutawatir memberikan
faedah diantaranya:
1.
Berfaedah keyakinan.
Bahwa
hadits mutawatir memberi faedah harus diyakini apa adanya. Ini disebut sebagai ilmu
dharuri yang tidak lagi dapat ditawar kebenarannya. Orang harus meyakini bahwa
apa yang diriwayatkan para perawi memang pernah disampaikan atau dilakukan oleh
Rosulullah melihat kuantitas perawi yang tidak mungkin bersepakat berdusta.
2.
Pasti
shahih.
Maka tidak dibutuhkan pembahasan
mengenai hal ihwal periwayatannya.
3. Wajib meyakini keshahihannya seperti
meyakini Al-Qur’an.
Bahwa
mengingkari hadits mutawatir dapat menyebabkan kekufuran.
4.
Wajib mengamalkannya.
Maksudnya,
bila disana Nabi menyebut perintah, maka harus dilaksanakan, sebaliknya bila
disana Nabi melarang, maka harus disinkiri.
B. Hadits Ahad
1. Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu,
maka khobar ahad atau khobar wahid berarti suatu berita yang disampaikan oleh
orang satu.
Adapun yang dimaksud hadits ahad menurut istilah, banyak
didefinisikan oleh para ulama’, antara lain:
Mahmud Thahan :
Hadits Ahad adalah hadits yang tidak
mencapai derajat mutawatir.
Ahmad Husnan :
Hadits Ahad adalah hadits yang
diriwayatkan oleh para perawi yang tidak mencapai syarat-syarat dalam
periwayatatn hadits mutawatir.
Muhammad Abu
Zarhah:
Hadits ahad
yaitu tiap-tiap khobar yang yang diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih
yang diterima oleh Rosulullah dan tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir.[7]
Dari beberapa
pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hadis ahad adalah hadits yang
diriwayatkan oleh para perawi yang tidak mencapai derajat hadits mutawatir.
2. Pembagian Hadits Ahad
Para
muhadditsin membagi atau memberi nama-nama tertentu bagi hadits ahad mengingat
banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqot, yaitu hadits
masyhur, hadits aziz, dan hadits ghorib.
a.
Hadits Masyhur
Dalam bahasa masyhur berarti tenar, terkenal,dan
menampakkan.dalam istilah hadits masyhur terbagi menjadi dua macam:
1.
Mashhur Istilahi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih pada setiap tingkatan pada beberapa tingkatan
sanad tetapi tidak sampai pada kriteria mutawatir.[8] Contoh
hadis:
(رواه
بخارى ) فليغتسل الجمعة احدكم جاء اذا
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan
sholat jum’at, hendaklah ia mandi”(HR. Bukhori)
2. Mayhur Ghoiru
istilahi adalah hadits yang populer atau terkenal dikalangan golongan atau
kelompok tertentu sekalipun jumlah periwayat tidak mencapai tiga orang atau
lebih.[9]
Contoh :
ü Masyhur
dikalangan ahli hadits: “orang Islam
(yang sempurna) itu adalah orang-orang Islam lainnya selamat dari lisan dan
tangannya.”
ü Masyhur
dikalangan ahli fiqih: Rasulullah SAW
melarang jual beli yang didalamya terdapat tipu daya.”
b. Hadits
Aziz
Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah
hadits diriwayatkan oleh dua orang perowi pada pada seluruh tingkatan sanad. Sebagai
contoh ialah hadits:
لا يؤمن احدكم حتى اكون احب اليه من والده وولده
والناس اجمعين (رواه بخارى ومسلم)
“Tidaklah beriman seseorang diantara kamu, hingga aku lebih
dicintai ddari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia”.
Hadits ini
diriwayatkan oleh dua orang sahabat yaitu Anas dan Abu Hurairah, dari Anas
diriwayatkan oleh dua orang yaitu
Qatadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Dari Qatadah diriwayatkan oleh dua orang
pula yaitu Syu’bah dan Sa’id. Dan dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh dua orang
pula yaitu Isma’il bin Ulaiyah dan Abdul Warits. Dan seterusnya sampai kepada
al Bukhari dan Muslim.
c. Hadits Ghorib
Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi dimana saja tingkatan dari
beberapa tingkatan sanad.[10]
Hadits Ghorib terbagi menjadi dua: yaitu ghorib mutlaq (fard) dan ghorib nisbi.
1.
Ghorib mutlaq
Ghorib
mutlaq adalah hadits yang ghororobahnya terletak pada pokok sanad. Pokok sanad
yaitu seorang sahabat.
Contoh hadits:
انماالاعمال
بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى......
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh
sahabat Umar bin Khottob ra.
2.
Ghorib nisbi
Ghorib nisbi adalah hadits
yang ghorobahnya berada di tengah sanad.
Contoh hadits:
عن انس رضى الله عنه
ان النبي صلى الله عليه وسلم دخل مكة وعلى رأسه المغفار
(رواه بخارى ومسلم)
Dari Anas ra bahwa nabi SAW masuk kekota makah diatas kepalanya memakai
igal. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas
dikalangan tabiin hanya Malik yang meriwayatkannya. Boleh jadi pada awal dan
akhir sanad lebih dari satu periwayatnya.
3.
Hukum Hadits
Ahad
Hukum hadits
ahad adakalanya shohih, hasan, dan dhoif tergantung persyaratan yang terpenuhi,
apkah memenuhi kriteria hadits shohih apa tidak. Jika memenuhi segala
persyaratannya berarti berkualitas shohih dan jika tidak memenuhi sebagian atau
seluruh persyaratan maka tergolong hadits hasan atau dhoif.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hadits ditinjau dari kuantitas perowi dibagi menjadi dua
yaitu:
1. Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu
untuk berdusta. Hadits
mutawatir terbagi menjadi
tiga yaitu:
a.
Mutawatir lafdzi.
b.
Mutawatir ma’nawi.
c. Mutawatir
amali.
2. Hadits Ahad adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Hadits ahad dibagi
menjadi tiga yaitu:
a. Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh
tiga rowi atau lebih dan tidak sampai pada batasan mutawatir. Hadits masyhur
dibagi menjadi dua yaitu:
ü
Masyhur Istilahi
ü Masyhur Ghoiru
Istilahi
b. Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan
oleh dua orang perowi ditiap tiangkatan sanad.
c.
Hadits
Ghorib adalah
hadits yang diriwayatkan satu perowi saja. Hadist ghorib dibagi menjadi dua
yaitu:
ü
Ghorib Mutlak
ü
Ghorib Nisbi
B.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.H Abdul Majid Khon ,Mag,ulumul hadist ,AMZAH,(Jakarta :2011)
Drs. Mundzir Suparta, M.A, Ilmu
Hadits, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
:2003)
Drs. Octoberinsyah, M.Ag, Imam Muhsin, M.Ag dan M.
Alfatih Suryadilaga, M.Ag, Al Hadits, Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta : 2005).
Prof.
Dr. Muh. Zuhri, Hadits Nabi Telaah
historis dan Metodologis, PT. Tiara Wacana, (Yogyakarta : 2003).
Mudasir,
Ilmu Hadits, Pustaka Setia, hlm:113
Fathur Rahman.1974. Ikhtisar
Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung.hlm.79
Syekh Abdul Majid al-Ghouri. Al-Muyassar fi Ulum
al-Hadits. Hlm.33, 34, 35, 209. Daar Ibn Katsir, Damaskus, Beirut.
Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhatul Mughits fi ilmi
musthalah al-hadits, Andalas Surabaya.
Dr. H. Umar,
Lc, M.Ag. Ilmu Hadits. NORA MEDIA ENTERPRISE. Kudus. 2011.
[1] Ulumul
hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 131
[2] Ulumul
hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 131
[3] Ulumul
hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 132
[5] Ulumul
hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 136
[6] Ulumul
hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 137
[8] Ulumul
hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 139
[9] Ulumul
hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 140
[10] Ulumul
hadits, Dr h. Abdul Mujid Khon, M Ag hal 143
Tidak ada komentar:
Posting Komentar